Kelak, mampukah aku setangguh engkau, wahai ibu?

(Bagian termulia- perempuan)
"Siapa yang menghebatkan kita?
Beliaulah Ibu.
Ibu yang tak pernah merasa beban membawa kita sembilan bulan. 
Ibu yang melahirkan kita lalu mempertaruhkan nyawanya.
Ibu yang dengan kesabarannya, merawat, mendidik lantas menumbuhkan kita.
Ibu yang tak pernah marah meski sering kali kita berbuat salah.
Ibu yang dengan ikhlas melepas kita menuju tempat singgah guna menuntut ilmu dalam waktu yang lama.
Lalu, Ibu yang sanggup menutupi air matanya kala kita kelak sudah tak tinggal serumah. 
 
Lantas, sudah sampai mana baktimu padanya?"
Sama seperti subuh-subuh yang lalu, selepas berjama'ah bersama dan mempersiapkan semuanya, berpamitan kepada sanak keluarga dan saudara, perempuan yang bersama dalam satu shaf itu telah siap mengantarmu hingga di pintu depan rumah, adik laki-lakimu siap mengantarmu juga, lalu adegan yang selalu sama selalu tercipta, haru biru saling melepaskan. Dan diam-diam kau naik diatas roda dua sambil sesunggukan menahan air mata agar tak jatuh saja. Lalu kalimat terakhir yang selalu terdengar "hati-hati, wa'alaikumussalam". Beliaulah emakku, emak terkuat yang ku tahu. 

Mungkin biasa tak seperti yang lainnya, bagiku perjalanan kurang lebih empat tahun di tanah rantau itu semakin membekas kala memori telah di buka seperti ini, bagaimana tidak? Jika 12 tahun mulaj MI, MTs hingga MA selalu berada dalam rangkul dan dekap keluarga tiba-tiba harus keluar rumah melanjutkan menuntut ilmu S1 di Malang, dan tidak juga bisa setiap bulan bertemu kedua orangtua, sebab banyak yang harus dipertimbangkan ketika pulang. Dan paragraf pertama diatas, begitu membekas mana kala momen balik lagi ke Malang sudah hadir. 

Kembali ke subuh itu, perjalanan di mulai, kebetulan kala itu saya menjadi penumpang pertama di angkot itu, dan tak lama angkot telah penuh penumpang, sesekali saya melihat adegan serupa, anak-anak rantau yang berpamitan pada perumpuan tua mereka, saya selalu berdecak kagum "Ibu hebat, ibu kuat, sanggup melepaskan dengan ikhlas!"

Roda dua itu akhirnya menembus waktu, dan perjalanan subuh seperti ini selalu menakjubkan, sebab dengan jelas gradasi warna yang telah di lukiskan Allah terpampang nyata, gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Dan sesekali sama, masih sama sesunggukan yang telah saya curi kembali menghampiri. Seketika lamunan dan hayalku bermain, memikirkan tentang ketangguhan seorang ibu, perempuan itu dulu saat menikah pastilah mengharapkan di amanahi Allah putra-putri, lalu ketika Allah mengamanahinya dengan benih dalam perutnya, ia harus berjuang lebih lagi, menjaga agar kelak bayi itu lahir ke dunia dengan keadaan bahagia, tak sampai di situ, ketika posisi kelahiran, ia harus memperjuangkan dua nyawa, tak terbayangkan, lalu beranjak bayi yang siang-malam hanya mampu berkomunikasi dengan tangis, dengan sabar ia merawatnya, dan singkatnya kini putra-putrinya telah tumbuh, dan sampailah ia sudah tak bisa mendekapnya lebih erat secara fisik lagi. Hanya kurang lebih 15-20 tahun ia bisa bersama-sama, lalu ikhlas melepaskan putra-putrinya. Dan yang saya tahu, perempuan tangguh ini masih punya kekuatan tak tertandingi dalam dekapan erat pada putra-putrinya, yakni dengan doanya. 

Mengutip salah satu kalimat penghunjung sajak di awal saya tadi "...Lantas, sudah sampai mana baktimu padanya?"
Ya Rabb, pertanyaan ini sungguh tak sanggup terjawab, sebab baktiku padanya, belum ada apa-apanya, belum ternilai sama sekali, dan belum sanggup bahkan takkan pernah sanggup untuk menebus semua cinta tulus darinya. Sedikit hadiah untuk ibu yang wajib dimohonkan pada Allah adalah, kita tak pernah melupakan mendoakannya. Di usai waktu lima yang tak boleh terlewat. 

Untukmu ibu "Rabbighfirly waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayanii shoghiiro (Ya Tuhanku, ampunilah bapak ibuku dan sayangilah keduanya sebagiamana keduanya menyayangiku diwaktu kecil)"

Kabar yang membahagiakan, Islam telah memuliakan ibu tiga kali lipat.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Semoga Jannah telah siap menunggu ibu kita di akhirat sana. Tulisan ini teruntuk perempuan tangguh teristimewa Emakku Khusnul Khotimah , dari putrinya.

Masrifatun Nida'
Gresik, 22 Desember 2014~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merangkai bunga kematian

Kupang yang di Rindu

Adeeva Mahyatul 'Izzah