Selalu ada harapan


Meruntuhkan bangsa lewat akhlak rendah. Begitulah judul tulisan yang di muat di majalah Sabili cetakan Januari 2010. Hampir 10 tahun yang lalu, saat saya duduk di bangku akhir sekolah. Entah, beberapa pekan yang lalu tiba-tiba majalah itu ada persis di samping kala saya usai sholat. Oh iya, tulisan itu karya Herry Nurdi. Singkatnya, beliau menjabarkan tentang mata-mata Suriah, namanya adalah Eli Cohen, ia menyelundup dalam banyak sektor bahkan telah berpengaruh dalam komunitas Suriah di Argentina. Hampir-hampir saja, Eli Cohen menjadi Presiden Suriah, jika skandalnya yang rapi tak terbongkar, ganjarannya ia di gantung dj tengah lapang pada 18 Mei 1965 disaksikan lebih dari 10.000 rakyat Suriah.
Kerusakan yang dihasilkan oleh operasi Cohen ini sungguh luar biasa. Bukan saja pada ranah politik dan pertahanan, keamanan dan rahasia negara, tapi jauh lebih dari itu, Cohen telah berhasil menanamkan jiwa-jiwa korup dalam tubuh birokrasi dan militer di Suriah. Dan ini adalah kerusakan yang bersifat laten, lebih bahaya dari sekedar serangan militer. Dan kondisi yang sama sedang melanda Indonesia.

Dalam majalah ini, saya menggaris bawahi beberapa point yang sekarang semakin benar-benar terasa, korupsi dan penyelewengan kekuasaan menjadi air bah yang besar dalam pusat politik Indonesia. Dalam halaman 37 edisi Sabili 10 tahun coba menerka, "Apakah ada tangan-tangan misterius yang bermain di belakang peristiwa-peristiwa korupsi?"
Berikut point yang saya ambil.
Dr. Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan pada kabinet periode lalu (baca: SBY), tahu benar apa jawaban pertanyaan ini.
1. Indonesia dihancurkan melalui sistem. Seharusnya sistem berpihak pada rakyat, tapi malah menyengsarakan dan mengancurkan pondasj negara. (Dalam segi kesehatan saya sudah bersusah payah ternyata diubah semuanya melalui sistem neoribalisme)

2. Bagi beliau, hasil dari neoribalisme adalah kehancuran bagi yang kuat. Banyak pejabat atau pembesar negara menandatangani kebijakan yang menguntungkan pihak asing, hampir 90% dari kekayaan alam sudah bukan milik kita, 90% bank yang ada bukan milik kita. Semuanya sudah dimiliki pihak asing tanpa meninggalkan kepada anak bangsa.

3. Adanya The Invisible hand. Ini merupakan kekuatan yang tidak terlihat mencoba untuk mengatur negara di bidang ekonomi, politik intelejen atau lainnya. Jika suatu negara kuat dalam sisi militer, tangan misterius ini masuk ke dalam isu HAM, dst.

Bagi saya 3 point di atas sudah membuat dada saya sesak. Kala itu, 10 tahun yang lalu saya tentunya tak pernah terpikirkan akan Indonesia saat ini. Yap! Apa saja yang telah ditulis bu Siti Fadilah Supari, nyata adanya.

Di masa pandemi seperti ini, saya dan teman-teman senantiasa meluangkan waktu untuk berdiskusi. Covid-19 sejak awal kemunculannya mencuri perhatian saya. Dua teman yang kala itu saya tanya, adalah Najma dan Terry. Dua teman ini menjelaskan dari sudut pandang keahlian mereka dalam dunia ilmu pengetahuan/sains. Singkatnya kala itu, kita menebak dibalik wabah ini ada "rekayasa" virus. Beberapa bulan berlalu, dan jleb! Indonesia dinyatakan terjangkit, bahkan tangal 11 Maret dinyatakan oleh Presiden bahwa wabah covid-19 ini termasuk bencana besar. Maka pertanggal 16 Maret instansi sekolah serentak learning from home. Maka mari sejenak kita mengatur napas agar tak tersenggal, sebab langkah kkta kedepan tentu berat.

Diskusi di mulai, teman yang begitu sering saling mengajak diskusi adalah temanku Uly Aldini. Di awal-awal dulu kita fokus dibagian bagaimana penanganan pemerintah pusat terkait pandemi ini. Kita sama-sama lempar link dan data untuk sama-sama di kaji dan juga didiskusikan. Saya, sebagai -alumni- anak oraganisasi dan sekarang menjadi pendidik tentu berbeda dalam melihat hal ini dengan Dini. Yap! Dini lebih ke akurasi data dan tentu pendidikan juga, maklum teman saya ini ahlinya di bidang statistik. Kala itu, kami berdua merenung banyak hal. Sektor apa yang akan mendapatkan porak poranda dari gelombong besar pandemi ini. Kami sama-sama terus memantau bagaimana penanganan covid-19 ini.

Pada sampai titik semalam, tak terasa yah, hampir sebulan pandemi ini merajai tranding topic di berbagai media, ia telah mencuri perhatian bersama. Dan tentulah, orang awam macam saya dan Uly Aldini menjadi ikut berpikir keras. Oh iya, di awal saya sempat menyinggung tentang ibu Fadila Supari, maka disinilah letak kami berdiskusi lagi. Dua hari yang lalu Najma mengirimkan sebuah buku pdf karya ibu tersebut. Kami berdua (saya dan Dini) menerka banyak hal. Bahwa benar kekhawatiran beliau telah terjadi saat ini ya kawan.

Maka, masihkah ada harapan?
Kala Dini bertanya, aku membalas sembari memberi emoticon menangis. Entahlah. Lalu Dini mengingatkan "Harus ada harapan". Sebab pemerintah memiliki kuasa tertinggi dan semoga sistem yang tidak baik segera berubah. Lalu, ku menambahkan, ya Din akan selalu ada secercah harapan, kita masih punya generasi untuk dididik, merekalah harapan kita, harapan untuk memperbaiki sistem di negeraa kita. Meski tentu berat. 

Dari sini, saya dan Dini tentu sepakat. Bahwa salah satu sektor yang perlu sangat untuk dipoles adalah anak-anak, generasi kedepan dilanjut jika cita-citanya masuk kedalam ranah pemerintahan. Ada yang benar-benar harus dikawal. Yaitu:

1. Kuatkan Aqidah
2. Benarkan Ibadah
3. Pegang kuat Akhlak
4. Ilmu yang mumpuni

Kami berdua bahkan sadar, bahwa kita merasa bodoh akan banyak hal, namun secercah cahaya itu ada. Kami di berikan Allah sinyal untuk terus mengedukasi diri bahkan sekitar, bahwa banyak hal yang harus terus menjadi PR dan kita pecahkan bersama.

Kita sering merenung kedepan apa jadinya bangsa jika nilainya runtuh. Cukuplah pandemi ini menjadi muhasabah agung kita, kita sedang diuji coba. Tapi, masihkah kita tidak peka?

Kita sebagai muslim, tentu berharap anak-anak generasi kelak mampu memperbaiki sistem ini. Bu Fadilah Supari benar-benar membuka mata fisik bahkan hati kita bersama. Semoga di episode selanjutnya saya mampu menuliskan ulasan buku karya beliau.

Masrifatun Nida'
Rumah, 14 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merangkai bunga kematian

Kupang yang di Rindu

Adeeva Mahyatul 'Izzah