Catatan

Tentang Guru
===

Sulaiman baru saja menyelesaikan pengisian rapor online siswa siswinya ketika ia membuka akun fb-nya untuk sekedar melepas penat.

Berita tentang Covid-19, masih mendominasi timeline. Beberapa tulisan ia baca, selebihnya dilewatkan karena dianggap tidak meyakinkan kebenarannya. 

Beberapa detik kemudian, Sulaiman mendapati akun seorang walimuridnya membagikan sebuah artikel. Guru berusia 50 tahun itu pun penasaran ingin membaca artikel tersebut, setelah walimurid memberikan caption; “Semoga semua guru dan sekolah bisa berlapang dada menerima tulisan ini.”

Oke. Dengan sekali klik, artikel itu muncul sepenuhnya.

Artikel itu berbentuk kritik terhadap sistem pendidikan di masa pandemi Covid-19. Telah dishare sebanyak dua ribu kali. Viral. Sulaiman membaca satu per satu item opini yang dikemukakan oleh si penulis. 


“Pertama, hentikan pembelajaran online lewat hape. Alasannya, tidak semua orang tua murid memiliki handphone lebih dari satu. Jika anak harus belajar pakai hape di jam-jam orang tuanya kerja, dan kebetulan sang orang tua jualan online, maka itu akan membuat orang tua kehilangan waktu produktif untuk promosi jualannya. Apalagi di masa pandemi seperti ini. Di masa perekonomian susah seperti ini. Lebih baik kasih waktu orang tua memaksimalkan gadget buat jualan.”

“Kedua, jangan beri anak-anak tugas yang dapat memberatkan orang tua. Ingat, orang tua tidak belajar apa yang dipelajari oleh para guru semasa kuliah. Orang tua tidak belajar metode pengajaran, tidak belajar membuat RPP, bahkan bisa jadi orang tua murid hanya tamatan SMP. Jadi stop memberikan tugas pada murid, yang ujung-ujungnya hanya membuat pusing orang tua.”

Sulaiman tersenyum, membenarkan kacamatanya yang melorot beberapa centi. Ia melanjutkan membaca…

Ketiga, hendaknya ujian wabah Corona ini bisa menjadi instropeksi bagi pihak sekolah, agar kurikulum yang diajarkan untuk siswa adalah sesuatu yang bermanfaat di masa depan. Karena selama ini, sebagian besar pelajaran selama di sekolah tidak pernah terpakai ketika di dunia kerja. Kemudian sang penulis memberikan contoh, bahwa seorang youtuber muda, Sulaiman lupa dengan namanya, bisa kaya secara finansial dan bisa membeli mobil Lamborgini dengan harga Milyar di belakangnya, hanya dengan bikin konten kreatif di Youtube. Dan sayangnya, yang seperti ini tidak diajarkan di sekolah. Para lulusan sekolah, hanya jatuh pada mental pencari kerja. 

Kini tibalah Sulaiman pada poin selanjutnya. Yakni saran –jika tidak disebut ‘tuntutan’--, agar pihak sekolah mau menggratiskan SPP murid selama pandemi Corona ini berlangsung. Sang penulis memberi gambaran betapa para orang tua sedang susah perekonomiannya. Bahkan banyak di antaranya kehilangan pekerjaan. Maka, jangan sampai kepala orang tua yang sudah pening itu ditambah lagi dengan biaya SPP anak-anaknya. Toh, selama anak-anak libur sekolah, biaya operasional sekolah seperti listrik, air, dan lain-lain berkurang drastis. Jadi sekolah tak akan merugi bila SPP digratiskan. Untuk gaji guru, kali ini bisa memakai kas yayasan. 

Sang penulis juga menambahkan, hendaknya tragedi virus Corona ini menjadi momentum bagi para guru untuk mencari rezeki dari pintu yang lain. Seperti berdagang. Manusia, jika berada dalam tekanan tinggi, pasti mampu mencari jalan keluarnya sendiri. 

Kini Sulaiman mencopot kacamata yang sedari tadi menggantung di batang hidungnya. Ia membaca betapa banyak komentar yang mendukung tulisan tersebut. Buktinya dishare sampai ribuan kali. Bahkan ada beberapa komentar terasa memojokkan profesi guru, menganggap guru mendapat enaknya saja di musim pandemi seperti ini. Tinggal di rumah, memberi tugas lewat WA, ngasih nilai, lalu gajian penuh.

Sulaiman menarik nafas dalam. Komentar-komentar itu memang tak menyebut namanya, namun sebagai seorang guru senior, komentar tersebut ibarat tinju-tinju dari orang yang tak ia kenal menghantam ulu hati. Ada rasa sakit dan sesak di dada. Ia memaklumi, dalam perspektif walimurid mungkin artikel ini dirasa benar. Namun, ia juga perlu meluruskan, tentu saja dari sudut pandang guru. Seseorang yang berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan.

Ia masih merasa lelah setelah mengisi rapor online lima kelas, dua mata pelajaran. Tapi ia masih punya tenaga sisa untuk ikut berkomentar terhadap artikel viral tersebut.

Sulaiman pun mengklik tombol komentar, lalu mulai mengetik …

‘Saya menghargai pendapat dan kritik sang penulis. Akan tetapi izinkan saya menanggapi tulisan di atas dari sudut pandang tenaga pengajar. Saya seorang guru. Bisa disebut guru jadul, karena usia saya sudah 50 tahun. Delapan atau sepuluh tahun lagi pensiun.’

‘Untuk poin pertama, bahwa hentikan pembelajaran online, saya rasa sulit dilakukan. Sebab menteri pendidikan memutuskan bahwa selama anak-anak diliburkan di masa pandemi Covid-19, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tetap berlangsung dengan memakai platform media online (Zoom, Youtube, WhatApps, dll). Dan keputusan menteri tersebut bersifat mengikat serta wajib dijalankan oleh para guru dan murid.’

‘Oleh karena itu, kami, khususnya saya yang sudah paruh baya ini, harus menyesuaikan diri untuk bisa menguasai pembelajaran via media online. Saya malu untuk mengungkapkan, tapi jujur saya yang hanya bisa buka WA dan fb ini keteteran dalam memberikan pelajaran lewat internet. Adakalanya saya bahkan menyewa jasa editor video untuk membuatkan video pembelajaran, dan itu memakai uang saya sendiri.’

‘Jadi kami mohon maaf, jika ternyata ada orang tua yang dirugikan dengan sistem belajar dadakan ini, sampai harus berbagi waktu memakai hape dengan anak, padahal hape itu bisa digunakan untuk jualan online. Doa kami semoga ananda kelak menjadi anak yang cerdas, sholeh, dan berhasil dunia akhirat.’

‘Kedua, tentang tugas buat siswa yang ternyata malah memberatkan orang tua. Kami juga mohon maaf, sekali lagi kami hanya menjalankan perintah dari dinas pendidikan. Harus ada nilai yang dimasukkan rapor online. Dari mana nilai itu diambil jika bukan dari tugas sekolah ananda? Kalau tugas dihapus sama sekali, bisa tidak adil nanti. Yang belum paham materi dan yang sudah paham, dinilai rata semua. Tak ada maksud sama sekali jika tugas itu harus dibebankan pada para orang tua. Yang kami ajari kan anak-anak, bukan orang tua. Jika anak-anak bingung pada materinya, mohon sampaikan pada guru, insyaAllah para guru siap membantu, bukan malah jadi beban pikiran orang tua. Kami pihak pendidik juga akan terus berkoordinasi agar tiap tugas anak tak sampai memberatkan orang tua.’

‘Ketiga, tentang banyak materi pelajaran di sekolah yang ‘tak berguna’ buat anak didik di masa depan. Astaghfirullah. Mohon izin untuk mengatur nafas agar tidak muncul emosi dalam jiwa. Para orang tua boleh mengatakan apa pun pada kami, para guru ini. Guru gagal, guru tak becus, dan semacamnya. Tapi tolong jangan katakan apa yang kami ajarkan adalah sesuatu yang tak berguna, hanya karena ketika dewasa kelak anak-anak tak bisa jadi milyader seperti youtuber muda itu.’

‘Seorang alumni kami pernah menyelamatkan orang yang hampir tenggelam di sungai. Saat ia berkunjung ke sekolah, saya tanya di mana ia belajar berenang? Dia menjawab, ‘loh, apakah Bapak Sulaiman tidak ingat? Saya bisa belajar berenang ya setelah dulu diajari oleh Bapak di sekolah.’ Saya memang guru olahraga. Lalu apakah karena anak ini tak jadi orang yang bergelimang harta, lalu bisa dengan mudah dikatakan bahwa dulu ia membuang-buang waktu ikut pelajaran olahraga berenang di sekolah? Sungguh, meski si anak ini tak kaya, namun ia pernah menyelamatkan nyawa manusia.’

‘Oh, iya. Tentang youtuber muda itu. Apakah setelah kita melihat ia bisa membeli Lamborgini, itu artinya kami akan dituntut fokus mencetak anak didik yang serupa dia? Padahal tiap orang mempunyai standar kesuksesan berbeda-beda. Ada yang menyebut kalau sudah punya uang banyak, dia sukses. Tapi ada juga yang menganggap sukses adalah jika bisa membangun keluarga bahagia, dapat mendidik buah hati menjadi anak yang berakhlak baik. Ada pula yang menyebut sukses adalah bisa bermanfaat bagi sesama, maka ia pun ingin menjadi guru. Itulah sebabnya, karena standar sukses tiap orang berbeda-beda, maka kami tunjukkan jalan awalnya berupa ilmu-ilmu dari berbagai bidang. Selanjutnya, silakan tempuh jalan sukses kalian sendiri.’

‘Terakhir, terkait SPP digratiskan selama wabah Corona. Bapak Ibu, ini perlu dicacat, sekolah tidak diliburkan, tapi kegiatan belajar mengajar beralih di rumah. Itu perintah dari dinas pendidikan. Artinya kami juga punya kewajiban untuk mendampingi belajar anak-anak Bapak dan Ibu, lewat media online. Kami memantau mereka, memberikan materi lewat video-video yang kami buat, atau seperti saya malah membayar jasa produksi video. Jika meminta untuk digratiskan penuh, karena melihat tak ada biaya operasional sekolah selama masa pandemi, lalu siapa yang menggaji kami? Biaya operasional seperti listrik dan air, sekolah alihkan untuk membayar tarif kuota internet. Saya baru tahu, bahwa aplikasi Zoom itu sangat boros kuota. Andai menteri pendidikan memutuskan bahwa selama pandemi virus Corona berlangsung, sekolah libur total, tak ada pembelajaran, tak ada penilaian, tak ada isi rapor online dan lain sebagainya. InsyaAllah kami siap tidak digaji, dan akan mencari rezeki dari jalan yang lain.’

‘Yayasan yang membayar? Rasanya tak mungkin dilakukan. Berapa kas yayasan? Tidak semua yayasan bergelimang tabungan. Itu yang ada yayasannya. Ada sekolah yang dibiayai mandiri. Jika walimurid tidak bayar SPP, saya khawatir sekolah yang semacam ini bakal tamat persis ketika Corona dinyatakan selesai.’

‘Tentang guru harus mencari jalan rezeki lain, lewat berdagang. Mau dagang apa kami ini? Bahkan yang basicnya pebisnis saja ambruk di masa sekarang ini. Apalagi kami yang pengetahuan dagangnya nol. Bukan tak percaya rezeki Allah. Tapi keahlian kami ada pada mengajar. Sedangkan waktu kami juga tersita untuk memberi materi, mengoreksi tugas, memberi penilaian, setor result pembelajaran ke diknas, memasukkan nilai di rapor online yang kadang kami harus begadang sampai subuh karena ‘berebut’ sinyal server yang kadang lemot. Tuduhan bahwa kami makan gaji buta, itu salah. Tapi terimakasih atas sarannya, insyaAllah sewaktu pembelajaran di semester 2 ini sudah rampung, saya akan coba berdagang, meski belum terpikir mau dagang apa?’

‘Jadi itulah tanggapan saya. Saya mohon maaf jika ada salah.’

Sulaiman menatap layar hapenya beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan icon ‘kirim komentar’.

Sekarang Sulamain bisa menarik nafas lega. Setelah ini ia akan berlapang dada tentang apapun yang bakal dikatakan oleh netizen. Ia tak bisa menahan pendapat netizen, bukan? Bahkan untuk melarang netizen berucap kata-kata yang merendahkan profesi guru, ia tak bisa. 

Sulaiman berfikir, banyak sekali sesuatu yang tidak digratiskan di masa wabah Corona ini. Beras, lauk pauk, sayur, bensin, gas elpiji, air galon, cat tembok, kuota internet yang bisa dibuat menonton drakor sampai episode tamat, air PDAM, semua harus dibayar tunai. Tak boleh hutang. Tak ada diskon apalagi digratiskan. Tapi mengapa hanya gaji guru yang tak seberapa itu yang dipersoalkan? Seolah para guru ini parasit di tengah wabah, hingga patut menjadi sasaran bully. 

Tapi biarlah. Biarlah mereka yang menilai. Tugas Sulaiman dan rekan-rekan seprofesi hanya menyampaikan ilmu. Ilmu yang akan membawa murid-muridnya pada sebuah kesuksesan di masa depan. Meski para murid tak pernah menyadari hal itu.

**** TAMAT ****

Cerpen ini aku tulis sebagai pembelaan untuk para guru atas beberapa persepsi miring yang beredar di masyarakat. Tak ada tendensi apa pun, karena aku sendiri hanya guru ekstrakurikuler honorer yang jika tidak mengajar seperti masa wabah ini, maka selama itu tak ada pemasukan dari sekolah. Aku hanya menyayangkan sikap beberapa orang yang menganggap guru adalah profesi yang makan gaji buta di masa pandemi ini. 

Semoga aku bukan orang terakhir yang mengucap dengan penuh takzim, “Guru… Terimakasih atas semua jasamu.”

****

Surabaya, 30 April 2020
Fitrah Ilhami

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merangkai bunga kematian

Kupang yang di Rindu

Adeeva Mahyatul 'Izzah