Bolehkah, jadi Ibu Rumah Tangga saja?

Ibu adalah madrasah
Bila engkau mempersiapkannya dengan baik
Berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi yang mulia
Ibu adalah taman
Bila engkau rajin menyiramnya
Maka ia akan tumbuh subur dan lebatlah dedaunannya
Ibu adalah guru
Guru dari segala guru
Jasa-jasa besarnya akan menyilimuti seluruh cakrawala

Sarjana muda (ex: mahasiswi) itu~
Sore ini, ia terbaring guna meluruskan punggungnya, sebab beberapa rencana telah batal ia laksanakan. Hari yang harusnya libur ia niatkan berkunjung ke saudaranya namun sayang, jadwal padat asrama rupanya tak memberi ruang, bagaimana tidak? Sejak sebelum matahari terbit, ia sudah membuka lebar matanya, meski ia hanya sempatkan dua-tiga jam mengistirahatkan tubuhnya semalam, dengan bahagia ia  mengawali menyebah pada RabbNya, lalu ia lanjutkan beberapa rakaat penyempurna, ditutup dengan kewajiban di subuh hari, mengawal beberapa agenda para santri terkhususnya itu, tak henti lalu dilanjutkan pada kegiatan pasti minggu pagi, membersihkan hunian, tak lama kemudian harus ia ke tempat ibu-ibu biasa berkumpul membeli keperluan, sebelum memulai agenda cooking-together hari ini, di sela-sela padatnya ia sempatkan mengadu padaNya, waktu terus berlanjut iapun harus segera melaksanakan kewajiban hidupnya, tentu ba'danya ia selingi dengan menyelesaikan tugas pribadi, kali ini waktunya beberapa santri menyiapkan keperluannya sendiri bersama para orangtuanya tuk beberapa hari meniggalkan Gresik ini, dan rupanya ia pun harus berperan membantu mereka juga, ia tak jemu menatap layar hpnya sebab banyak amanah lain yang menanti,
ia tak mau dianggap sombong dan sok sibuk meski terkadang dirinya merintih (Astagfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah lebih ampuh kala mengadu dengan lirih) dan panasnya kota pabrik harus ia terjang bersama motor kesayangan yang ia dapatkan seusai wisuda-motornya menjadi teman setia perjalannya kini, di sekolah ramai para manusia 'menggagu' list yang tak harusnya ada dalam rencananya hari ini, selepas semua usai 'tugas tiba-tiba' di sekolah, ia kembali menuju huniannya, rupanya di mesin cuci bajunya masih  menunggu tuk di eksekusi, belum sempat ia rebahkan punggungnya, ia sadar bahwa sore ini kewajibannya meng-imami para santri, hingga akhirnya ia ada waktu tuk membaringkan sejenak tubuhnya kala mentari sudah mulai kembali lagi, dan sesungguhnya tugasnya terus berlanjut hingga nanti ditutup sepertiga awal, tengah malam…

Flashback(1)~
Setiap pagi-malam ia habiskan dengan santai dan bahagia, ia mengawali semuanya layaknya ibu-ibu, bangun sebelum fajar, menyiapkan keperluan, berbelanja, memasak, membersihkan rumah, beribadah pastinya, dan sesekali membaca-baca buku favoritnya, atau menyaksikan tontonan kesukaan bisa juga berinteraksi dengan banyak hal lewat layar beberapa inci ini, namun ia memikirkan, apa yang kini hampa dari hidupnya? Berbeda dengan bulan-bulan lalu kala ia disibukkan dengan kegiatan kampus, organisasi, amanah-amanah, atau hobi kesukaannya 'berbagi ilmu' pada adik-adik barunya. Kini ruang lingkupnya hanya di dalam dan tak jauh dari luar rumah saja. Meski dalam hatinya ia begitu kagum senantiasa, dengan perempuan yang telah melahirkannya, diam-diam ia begitu merasa bersalah, betapa mulianya, betapa hebatnya, semua dilakukan tanpa mengeluh seperti dirinya itu. Mungkin hampa yang ia rasa adalah: Ia harap segera ada tempat yang menampung ia tuk berbagi kembali, seperti waktu lalu ia bahagia sebab berbagi dengan adik-adik barunya. 
Singkat cerita, waktu itu tiba, ia diterima di tempat yang ia tuju, bertemu manusia baru, siap untuk berbagi ilmu. 

Flashback(2)~
Duluu sekali, beberapa tahun lalu, bergabunglah seorang mahasiswa yang lumayan baru, masih awal semester tiga, kala ada diskusi dengan tema "women career" ia siap mengutarakan pronya terhadap kehebatan ini, ia tak peduli dengan beberpa teman atau bahkan kakak laki-lakinya yang menyatakan kontra terhadap hal ini. Ia tetap yakin, prinsipnya sejak kecil selalu sama[aku ingin jadi "guru" dan itu masuk women career kan? Ujarnya] Jadi meski dengan banyak argumentasi kontra, iapun siap dengan argumentasi pronya.
Lalu tiba-tiba ia diskak dengan pernyataan teman laki-lakinya saat itu "Kalau kamu masih ngotot mau kerja, apa gunanya kerjanya suamimu, bisa-bisa kau dimadu"
What! Bisa-bisanya closing malam itu begitu. Well tidak juga, sebenarnya masih banyak sekali argumentasi yang sama-sama kuat untuk mendukung atau menolak women career malam itu, tapi entah mengapa ia hanya mengingat jawaban temannya itu. 

Kali ini~
Huruf-huruf, kata-kata, kejadian-kejadian telah mengajaknya berpikir jernih, bahwa benar. Ia berharap menjadi ibu rumah tangga saja kelak. Bukan karena enak saja dirumah, tanpa di tekanan dan di sistem oleh pihak-pihak. Barangkali ia tersadar, ia ingin menjadi pencetak generasi yang cerdas yang benar-benar hasil racikannya, hasil asuhannya, hasil kasih-sayangnya, 24jam nonstop, melayani suami, anak-anak dan keluarganya kelak. Sebab, tak ada yang salah dari gelar sarjana jika ia hanya menjadi ibu rumah tangga. Nyatanya 80% kecerdasan berasal dari seorang ibu bukan? Jadi ilmu yng kau serap selama bangku kuliah bisa kau tularkan dan amalkan kepada anak-anakmu kelak. Sikap lembutmu juga kelak akan menjadi tempat teduh tuk suamimu. Kehangatan pribadi juga mampu menentreramkan kelurgamu bukan? 

*Catatan: Pastikan, kau telah memilih calon suamimu dengan benar (salah satunya ia siap menafkahimu dengan baik, dan masih banyak lagi pertimbangannya)! Ibu cerdas pasti cerdas juga memilihkan panutan terbaik buat anak-anaknya kelak! 

Bolehkah, jadi Ibu Rumah Tangga saja? 

Masrifatun Nida'
Gresik, 21 Januari 2018~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merangkai bunga kematian

Kupang yang di Rindu

Adeeva Mahyatul 'Izzah